Powered By Blogger

Rabu, 13 Juli 2011

ISTERI


Sewaktu Allah menetapkan bahwa ada hak isteri, maka ada pula kewajiban isteri, supaya ini seimbang. Dulu di seluruh masyarakat dunia, wanita dianggap tidak punya hak, yang ada hanya kewajiban. Di India, kalau suaminya meninggal, maka isterinya ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenazah suaminya. Yang tidak mau dibakar, maka isteri harus memperburuk dirinya. Ini seakan-akan wanita/isteri tidak punya hak. Di Eropa, isteri yang sebelum kawin punya harta, maka setelah kawin, hartanya menjadi milik suaminya. Jangankan harta, namanya pun diubah. Sebelum kawin, si A adalah putri ayahnya. Kita pun sekarang mulai ikut-ikutan.
Sedang di dalam Islam, tidak seperti itu, sebagai contoh, Aisyah adalah isteri dan Nabi Muhammad adalah suaminya, lantas nama Aisyah tidak berubah, tidak dikatakan “Aisyah Muhammad”, walaupun Nabi Muhammad lebih hebat dari Abu Bakar, ayahnya Aisyah. Aisyah tetap memiliki nama, Aisyah binti Abu Bakar. Ini gambaran bahwa perempuan mempunyai hak.
Allah berfirman : “Perempuan-perempuan/isteri-isteri itu memiliki hak yang seimbang sesuai dengan kewajiban yang diletakkan padanya”.
Karena itu wanita perlu tahu tentang haknya, kalau tidak, haknya akan diambil orang.
Sebelum lebih detail tentang hak-hak dan kewajiban wanita, perlu diketahui bahwa nabi pernah bersabda sebagai berikut : “Hai para laki/suami, yang terbaik diantara kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isteri”. Kalau sebelumnya pernah dikatakan bahwa laki-laki adalah qawwam bagi perempuan terkesan bahwa laki-laki mempunyai hak lebih tinggi dari wanita. Apalagi ada penegasan di ayat yang lain bahwa laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi. Tapi derajat yang tinggi itu bukan untuk mengundang suami bersikap sewenang-wenang. Maknanya bukan sekedar untuk tidak mengganggu isterinya, tetapi derajat yang lebih tinggi itu bermakna mentoleransi kesalahan-kesalahan dan kekurangan isterinya.
Setelah Allah menjelaskan tentang Arrijalu qawwamuna ‘alan nisaa (Laki-laki adalah penanggung jawab, pembimbing atas wanita) QS. Annisa :34, kemudian Allah berfirman selanjutnya masih pada ayat dan surah yang sama :
“Ashsholihatu qonitatun haafidzhotun”. “Wanita-wanita yang baik itu taat/patuh dan pemelihara”.
Bagaimana arti kata taat ? apakah kalau disuruh untuk tidak boleh sholat, atau disuruh buka aurat lantas boleh dituruti/ditaati ? tidak boleh. Berarti ketaatan yang dimaksud adalah bukan ketaatan yang mutlak. Jangan pahami firman Allah, taatnya itu merupakan taat mutlak, sampai-sampai mengorbankan hak-haknya wanita.
Di masyarakat, ada RIWAYAT BOHONG mengenai bagaimana ketaatan isteri kepada suami, ceritanya sebagai berikut : ada seorang isteri yang dipesan oleh suaminya agar jangan keluar rumah sampai dia kembali. Setelah suami pergi beberapa lama, lalu si isteri dapat berita bahwa ayahnya (sang isteri) menderita sakit parah. Lantas si isteri ini sebenarnya ingin menjenguk ayahnya tapi lantaran ingat pesan suami untuk tidak keluar rumah, maka isteri tetap tinggal di rumah. Sampai ayahnya menjelang ajalpun, isteri inipun tetap di rumah, tidak pergi ke rumah ayahnya. Dan sampai ayahnya meninggal pun dan hendak dikuburkan, isteripun tetap di rumah walaupun dia sangat ingin ke sana. Kataanya demi taat pada suami.
Berita dan riwayat itu TIDAK BENAR, darimana datangnya ? Ketaatan itu ada tempatnya. Cerita seperti itu dinamakan suami mengurung isterinya, dan isteri seperti itu tidak mengerti tentang ketaatan, karena tidak mengerti akan hak-hak yang diberikan Allah kepadanya.
Karena itu, dari segi moral, isteri kalau akan keluar rumah beritahu suaminya, bagaimana kalau suami mau keluar rumah ? Mestinya beritahu juga isterinya. Karena harus ada keseimbangan.
Ijin itu ada dua macam :
1. Ijin Umum.
Sebagai contoh : suami berkata kepada isteri, “pokoknya kalau ada pengajian, kamu pergi saja, tidak perlu bilang saya”.
2. Ijin Khusus.
Sebagai contoh : Suami/isteri harus mempertimbangkan apa yang disenangi atau dibenci pasangannya. Karena itu Nabi bersabda, tidak boleh seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumahnya sedangkan orang tersebut tidak disenangi oleh suaminya. Tapi kalau sepupu isteri, saudara isteri yang secara umum suami tidak berkeberatan, tidak dilarang untuk diajak masuk ke dalam rumah.
Lanjutan firman Allah, “…Wanita-wanita itu harus pula menjadi pemelihara-pemelihara”. Yang dimaksud pemelihara adalah pelihara dirinya, pelihara kehormatannya, pelihara harta suaminya, pelihara juga cintanya kepada suaminya. Jangan sampai melakukan sesuatu yang membuat suaminya cemburu. Kenapa isteri harus berbuat seperti itu ? Ayat ini selanjutnya menjelaskan, “… disebabkan karena Allah juga menjaga dia (isteri) sewaktu suami pergi”. Kalau suami yang baik, dia ingat kepada isteri dan anaknya. Itu selalu ada dalam jiwa suaminya. Karena itu, isteri harus juga begitu. Isterinya harus memelihara cintanya karena Allah sudah memberikan dan sudah memelihara isteri dalam jiwa suaminya yang sedang dalam bepergian.
Banyak sekali tuntunan Quran dan Nabi yang menunjukkan pemeliharaan Allah kepada perempuan. Sebagai contoh, kalau suami memberikan mas kawin, bolehkah suami mengambil kembali mas kawin tersebut ? Tidak boleh, karena Allah telah melarang. Itulah salah satu bentuk pemeliharaan Allah kepada perempuan.
Kembali ke awal, isteri menurut Al Quran wajib taat, tapi ketaatan itu bagaimana ?
Ketaatan itu bukan ketaatan yang mutlak, karena itu suami isteri diperintahkan untuk bermusyawarah. Diskusilah. Bolehkah isteri marah pada suaminya ? Sangat manusiawi kalau isteri marah. Suami isteri bisa beda pendapat, hanya harus pandai-pandai dalam menyampaikan. Pernahkah isteri nabi marah pada nabi ? Pernah.
Nah, dalam hadits Bukhari, (haditsnya yang dikenal sangat akurat dan shahih). Sayyidina Umar bin Khattab bercerita seperti ini :
“Kami sewaktu sampai di Madinah, isteri-isteri kami ini tabiatnya sudah berbeda, sudah lebih berani pada suami. Padahal di Mekkah, mereka para isteri menjadi penurut saja. Rupanya mereka itu terpengaruh dengan isteri orang-orang Madinah. Jadi sewaktu Umar berbicara pada isterinya, isterinya berbicara dengan suara keras. “Eh suara kamu keras kepada saya, tidak boleh begitu”, dijawab isterinya “Siapa bilang tidak boleh begitu ? Buktinya isteri-isteri nabi pun begitu”. Sayyidina Umar tertegun dan pergi bukan kepada Nabi, tapi ke anak beliau yang menjadi isteri Nabi, namanya Hafsah binti Umar. Ditanya oleh Umar, “Hai, bagaimana sikap kamu kepada Nabi ? Pernahkah kalian bersuara keras kepada Nabi”. Dijawab Hafsah, “Selaku suami (bukan selaku sebagai Nabi) saya bisa bersuara keras. Pernah satu malam kita tidak bicara dengan nabi”. “Oo begitu”, kata Umar. (tapi hanya satu malam. he2).
Nabi pernah berkata kepada Aisyah, “Saya tahu kalau kamu sedang marah dan kalau kamu sedang senang”. “Bagaimana kamu bisa tahu wahai nabi ?”.“Kalau kamu bersumpah dengan kata-kata, demi Tuhannya Muhammad, berarti kamu sedang senang kepadaku, tapi kalau kamu bersumpah dengan kata-kata, demi Tuhannya Ibrahim, berarti kamu sedang marah dengan saya”. Kata Aisyah, “Memang wahai Rasulullah, saya saking cinta kepadamu, paling yang bisa saya tinggalkan hanya namamu”.
Dari sini, bisa terlihat, bahwa ketaatan itu bukan ketaatan mutlak, isteri bisa berdiskusi kepada suami, bahkan boleh bersitegang, tapi tidak berkelanjutan. Dan pada akhirnya semua kita harus taat pada pimpinan walaupun anda tidak senang. Itulah yang dimaksud, “Wanita-wanita yang baik itu adalah yang taat (qonitat) dan yang pemelihara (hafidzhot)”.
Seorang suami bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi, apa haknya seorang isteri ?”. Nabi menjawab, “Kalau kamu makan, kamu beri juga makan isterimu”. Jangan kamu pergi makan enak, sedang isterimu diberi makan yang tidak enak. “Kalau kamu berpakaian, kamu beri juga pakaian buat isterimu.” Jangan kamu pakai pakaian yang indah-indah, sedang isterimu sederhana saja, kalau bisa justru pakaian isteri lebih indah dari suami karena memang suaminya baik. Itu disebabkan tabiat seorang wanita ingin selalu tampil berbeda setiap saat. Untuk itu ingatlah, hai para suami, bahwa yang terbaik dari kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya.
Lanjut Nabi, “Jangan sekali-kali kamu mengeluarkan kata-kata yang memperburuk dia, jangan memaki dia, jangan sekali-kali tinggalkan dia jika sedang marah, kamu harus tetap di dalam rumah bahkan tetap di dalam kamar.” Itu haknya perempuan. “Kamu juga tidak boleh pukul muka wanita”, lanjut Nabi.
Banyak orang salah dalam memahami arti menyangkut ayat Al Quran tentang yang dimaksud dengan memukul. Mereka menyangka bahwa boleh memukul isteri dengan merujuk pada lanjutan ayat : “Wanita-wanita (isteri-isteri) yang kamu khawatirkan membangkang, sehingga menempatkan dirinya di atas (nusyuz), wahai suami, nasehati dia, kalau tidak bisa, maka pukullah dia (wadhdhribuhunna)”. Orang lantas memahami “Dharab” (kata dasar dari idhribuhunna) dianggap berarti “memukul”. Padahal dalam istilah bahasa Arab, kata “dharab” itu tidak harus berarti memukul dengan keras. Orang berjalan di jalan, dinamai “memukul tanah”. Orang mendendangkan lagu di telinga anak dinamai “dharaba” seperti hadits nabi, “wadharabnaa ‘alaa adzanihim”. Orang yang meniup terompet dinamai dharaba juga. Jadi tidak dibenarkan dan sangat buruk, suami memukul isterinya apalagi memukul wajahnya. Kalau mau pukul isteri, ambil saja semacam lidi atau apa yang lebih halus, (pulpen bisa, sambil memukul halus dan pelan seperti diketukkan pada tangan atau badan isteri, red) sambil misalkan berkata dengan halus “dasar kamu”. Pukulan yang tidak menyakitkan. Cukup untuk menunjukkan rasa tidak senang.
Kalau itupun sudah tidak mempan, lanjut firman Allah “tinggalkan dia di pembaringan (jangan tinggalkan dia di rumah, kamu harus masih tetap di kamar, tapi tidak bercumbu atau bermesraan)”. Itulah haknya perempuan.
Pertanyaan :
1. Suami menyuruh kita untuk memakai jilbab, sedangkan kami belum siap, apakah itu melanggar haknya suami ?
Ini persoalan tentang jilbab, suatu saat nanti kita bahas tentang jilbab. Kalau suami beranggapan bahwa jilbab itu wajib dan isterinya juga beranggapan demikian, maka ketika suami menyuruh, isteri tidak mau, itu berarti isteri menanggung dua dosa. Dosa pertama kepada Tuhan dan dosa kepada suami.
Karena kewajiban kepada suami itu bukan hanya berkaitan dengan ketetapan yang diwajibkan agama saja tapi juga ada perintah suami yang demi kemaslahatan bersama.
Kita lihat, ada tidak perintah taat kepada lampu lalu lintas di dalam Al Quran maupun Hadits ? Tidak ada. Wajib tidakkah taat kepada lampu lalu lintas ? Wajib, karena untuk kemaslahatan bersama. Dengan demikian ada perintah suami yang demi kemaslahatan.
Kalau ada suami beranggapan bahwa jilbab tidak wajib, isterinyapun beranggapan seperti demikian maka sebenarnya tidak ada masalah. Tapi jika suami beranggapan bahwa jilbab itu wajib namun isteri beranggapan tidak wajib, maka isteri melanggar hanya satu, yaitu haknya suami.
Kesimpulan :
Bahwa kehidupan suami isteri itu harus didasari kesadaran bahwa mereka itu adalah sepasang. Keberpasangan ini menunjukkan bahwa mereka saling membutuhkan. Tidak bisa terjadi kehidupan rumah tangga, jika suami isteri kalau hanya satu, seorang. Tetapi masing-masing baik suami ataupun isteri memiliki kekurangan-kekurangan dan hendaknya ditutupi oleh kedua belah pihak. Kemudian setiap organisasi termasuk organisasi keluarga perlu ada pimpinan. Pimpinan ini diletakkan Tuhan pada suami, dan dia wajib ditaati selama apa yang diperintahkan itu tidak melanggar agama dan apa yang diperintahkannya itupun tidak mencabut hak-hak seorang isteri, atau tidak mencabut hak-hak pribadi isteri yang diberikan Allah. Dan karena itu, agama memerintahkan untuk selalu bermusyawarah antar suami isteri.


sumber : mohon maaf lupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar