Powered By Blogger

Rabu, 13 Juli 2011

Harta Kita Yang Sebenarnya


Kiriman : Ogy Adna
Ibu Ela adalah wanita yang pekerjaannya mengumpullkan                   sampah plastik dari kemasan. Untuk memperolehnya, dia           harus memungutnya di sungai. Wanita paruh baya, kurus,                   rambutnya diikat ke belakang, banyak warna putihnya itu                berumur 54 tahun, inilah petikan wawancara tim Uang                              Kaget RCTI dengan Bu Ela
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam. Ada apa ya Pak?” tanya Ibu Ela..
“Saya dari tabloid An Nuur mau wawancara sebentar, boleh Bu…?” Saya menjelaskan dan menggunakan Tabloid An Nuur sebagai penyamaran.
“Oh.. boleh, silahkan masuk.”
Ibu Ela, masuk lewat pintu belakang, saya menunggu di depan. Tak beberapa lama, lampu listrik di ruang tengahnya nyala, dan pintu depan pun dibuka.
“Silahkan masuk…”
Saya masuk ke dalam ruang tamu yang diisi oleh dua kursi kayu yang sudah reot. Tempat dudukannya busa yang sudah bolong di bagian pinggir. Rupanya Ibu Ela hanya menyalakan lampu listrik jika ada tamu saja. Kalau rumahnya ditinggalkan, listrik biasa dimatikan. Berhemat, katanya.
“Sebentar ya Pak, saya ambil air minum dulu” kata Ibu Ela.
Yang dimaksud Ibu Ela dengan ambil air minum adalah menyalakan tungku dengan kayu bakar dan di atasnya ada sebuah panci yang diisi air. Ibu Ela harus memasak air dulu untuk menyediakan air minum bagi tamunya.
“Iya Bu.. ngga usah repot-repot.” Kata saya ngga enak.
Kami pun mulai ngobrol…
Ibu Ela usianya 54 tahun, pekerjaan utamanya mengumpulkan plastik dan menjualnya seharga Rp 7.000 per kilo. Ketika saya tanya aktivitasnya selain mencari plastik.
“Mengaji…” katanya .
“Hari apa aja Bu…?” Tanya saya.
“Hari senin, selasa, rabu, kamis, sabtu…” jawabnya. Hari Jum’at dan Minggu adalah hari untuk menemani Ibunya yang dirawat di rumahnya. Oh.. jadi mengaji rupanya yang jadi aktivitas paling banyak. Ternyata dalam pengajian itu, biasanya ibu-ibu pengajian yang pasti mendapat minuman kemasan, secara sukarela dan otomatis akan mengumpulkan gelas kemasan air mineral dalam plastik dan menjadi oleh-oleh untuk Ibu Ela.
Hmm, sambil menyelam minum air rupanya. Sambil mengaji dapat plastik.
Saya tanya lagi,
“Paling jauh pengajiannya dimana Bu?”
“Di dekat terminal Bubulak, ada majelis taklim tiap Sabtu.
Saya selalu hadir; ustadznya bagus sih…” kata Ibu Ela.
“Kesana naik mobil dong..?” tanya saya.
“Saya jalan kaki” kata Ibu Ela
“Kok jalan kaki…?” tanya saya penasaran.
Penghasilan Ibu Ela sekitar Rp 7.000 sehari. Saya mau tahu alokasi uang itu untuk kehidupan sehari-harinya. Bingung juga bagaimana bisa hidup dengan uang Rp 7.000 sehari.
“Iya.. mas, saya jalan kaki dari sini. Ada jalan pintas, walaupun harus lewat sawah dan jalan kecil. Kalau saya jalan kaki, kan saya punya sisa uang Rp 2.000 yang harusnya buat ongkos, nah itu saya sisihkan untuk sedekah…”
Saya melongo…. Kan Ibu ngga punya uang, gumam saya dalam hati.
“Kenapa Bu, kok disedekahkan?” Saya masih bengong, karena uang Rp 2.000 bagi Bu Ela adalah 30% dari penghasilannya yang 7.000 itu.
“Soalnya, kalau saya sedekahkan, uang Rp 2.000 itu udah pasti milik saya di akherat, dicatet sama Allah…. Kalau uang sisa yang saya miliki bisa aja rezeki orang lain,
mungkin rezeki tukang beras, tukang gula, tukang minyak tanah….” Ibu Ela menjelaskan, kedengarannya jadi seperti pakar pengelola keuangan yang hebat.
Dzig! Saya seperti ditonjok Cris John. Telak! Ada rambut yang serempak berdiri di tengkuk dan tangan saya. Saya Merinding! Ibu Ela tidak tahu kalau dia berhadapan dengan saya, seorang sarjana ekonomi yang seumur-umur belum pernah menemukan teori pengelolaan keuangan seperti itu.
Jadi, Ibu Ela menyisihkan uangnya, Rp 2.000 dari Rp 7.000 sehari untuk disedekahkan karena berpikiran bahwa itulah yang akan menjadi haknya di akherat kelak. ‘Wawancara’ yang sebenarnya jadi-jadian itu pun segera berakhir. Saya pamit dan menyampaikan bahwa kalau sudah dimuat, saya akan menemui Ibu Ela kembali, mungkin minggu depan.
Saya sebenarnya on mission, mencari orang-orang seperti Ibu Ela yang cerita hidupnya bisa membuat ‘merinding’..Saya sudah menemukan kekuatan di balik kesederhanaan. Keteguhan yang menghasilkan kesabaran. Ibu Ela terpilih untuk mendapatkan sesuatu yang istimewa dan tak terduga.
Minggu depannya, saya datang kembali ke Ibu Ela, kali ini bersama dengan tim kru televisi dan seorang presenter kondang yang mengenakan tuxedo, topi tinggi, wajahnya dihiasai janggut palsu, mengenakan kaca mata hitam dan selalu membawa tongkat. Namanya Mr. EM (Easy Money). Kru yang bersama saya adalah kru Uang Kaget, program di RCTI yang telah memilih Ibu Ela sebagai ‘bintang’ di salah satu episode yang menurut saya salah satu yang terbaik. Saya mengetahuinya, karena di balik kacamata hitamnya, Mr. EM seringkali tidak kuasa menahan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca. Tidak terlihat di televisi, tapi saya merasakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar